HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang- undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum( legal relation). Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
B. Macam- macam Perikatan
a) Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternative
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman
g) Perikatan wajar
C. Hapusnya Perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUHPdt, ada sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu:
a) Karena pembayaran
b) Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c) Karena adanya pembaharuan hutang
d) Karena percampuran hutang
e) Karena adanya pertemuan hutang
f) Karena adanya pembebasan hutang
g) Karena musnahnya barang yang terhutang
h) Karena kebatalan atau pembatalan
i) Karena berlakunya syarat batal
j) Karena lampau waktu
Objek perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu :
a) Obyeknya harus tertentu.
Dalam Pasal 1320 sub 3 BW menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan. Karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah. Sebagai contoh yaitu Pasal 1465 BW yang menetukan bahwa pada jual beli harganya dapat ditentukan oleh pihak ketiga. Perikatan adalah tidak sah jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan. Misalnya, sesorang menerima tugas untuk membangun sebuah rumah tanpa disebutkan bagaimana bentuknya dan berapa luasnya.
b) Obyeknya harus diperbolehkan
Menurut Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang. Pasal 23 AB menentukan bahwa semua perbuatan-perbuatan dan persetujuan- persetujuan adalah batal jika bertentangan dengan undang-undang yang menyangkut ketertiban umum atau kesusilaan. Di satu pihak Pasal 23 AB lebih luas daripada Pasal-pasal 1335 dan 1337 BW, karena selain perbuatan-perbuatan mencangkup juga persetujuan akan tetapi di lain pihak lebih sempit karena kebatalannya hanya jika bertentangan dengan undang-undang saja. Kesimpulannya bahwa objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
c) Obyeknya dapat dinilai dengan uang.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta kekayaan.
d) Obyeknya harus mungkin.
Dahulu untuk berlakunya perikatan disyaratkan juga prestasinya harus mungkin untuk dilaksanakan. Sehubungan dengan itu dibedakan antara ketidakmungkinan obyektif dan ketidakmungkinan subyektif. Pada ketidakmungkinan obyektif tidak akan timbul perikatan sedangkan pada ketidakmungkinan subyektif tidak menghalangi terjadinya perikatan. Prestasi pada ketidakmungkinan obyektif tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun. Contoh : prestasinya berupa menempuh jarak Semarang - Jakarta dengan mobil dalam waktu 3 jam
D. Tempat Pengaturan Hukum Perikatan
Ada perbedaan mengenai tempat hukum perikatan dalam Hukum Perdata. Apabila dilihat lebih jauh dari segi sistematikanya, ternyata hukum perdata di Indonesia mengenal dua sitematika yaitu menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum dan menurut KUH Perdata.
Pembagian menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum, yaitu:
a) Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi.
b) Hukum tentang keluarga/hukum keluarga.
c) Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar